Kamis, 26 Maret 2015

Taman Safari Indonesia II Prigen Pasuruan



Welcome To Taman Safari Indonesia II
Taman Safari Indonesia II Prigen, Pasuruan Jawa Timur. Setelah satu bulan dari Bromo, aku melanjutkan petualanganku ke Pasuruan.

Sabtu sore, aku mulai perjalanan itu. Dari terminal Menak Koncar, kita juga cukup sekali naik bus jurusan Malang atau Surabaya. Pesan mba Ari aku harus turun di depan rumah sakit Soedarsono, Pasuruan. Karena baru pertama kali ke Pasuruan juga maka aku memilih duduk di belakang sopir. Biar tak kelewat. Dua jam saat tak macet dengan ongkos empat belas ribu rupiah. Lebih murah disbanding dengan biaya transport di Sintang. Lebih mudah juga untuk mendapatkan bus pastinya.

 
Sampai di Pasuruan aku telpon mba Ari. Tapi bukan dia yang angkat telponku. Kata ibu-ibu itu mba Ari baru mandi. Ahkhirnya menunggu lagi. Menunggu sambil duduk di warung depan rumah sakit itu. Penjual itu Tanya dari mana asal ku. Aku dari Klaten. Tapi ibu itu ternyata tak tau Klaten. Saat aku bilang Solo. Ibu itu baru paham. Yah...tak semua orang tau Klaten. Mereka lebih mengerti Solo atau Jogja. Walau Klaten ada di antara kota Itu. Tapi kotaku takcukup terkenal di luar sana.

Mba Ari datang, kita ke kost. Mba Ari kost di sana sudah sejak akhir tahun 2007. Sudah seperti keluarga sendiri dengan ibu kost di sana. Mba Ribut nama ibu kost. Kita panggil mba karena dia belum terlalu tua untuk kita panggil ibu.

Pasuruan kota lebih panas dari Lumajang. Malama Minggu itu kita lewatkan di alun-alun Pasuruan. Kita hanya berdua. Kita sama-sama jomblo yang mencari jodoh di sana. Sayang tak ada yang nyangkut. Akhirnya kita pulang.

Pagi kita mulai bersiap ke Taman Safari. Aku sama mba Ari. Robi sepupu ibu kost dan adenya. Kita hanya berempat. Tanpa mba Istonik tanpa mba Yuni. Bertambah lagi temanku di sini.

Satu jam dengan sepeda motor menembus panasnya kota Pasuruan. Tersesat? Sudah biasa. Justru itu lebih seru.

Sampai di sana, udara berubah drastis. Dingin. Di puncak gunung Arjuno. Lebih asri dari yang kita rasakandi kota Pasuruan.

Harga tiket enam puluh ribu rupiah. Delapan puluh lima ribu rupiah untuk tiket terusan.

Mengelilingi Taman Safari dengan kendaraan yang disediakan pengelola dengan gratis. Satu jam berkeliling Taman Safari.

Selesai itu, kita menonton pertunjukan binatang. Memang setiap libur ada pertunjukan-pertunjukan itu. Mulai dari pertunjukan gajah, orang utan, lumba-lumba, dan masih banyak yang ku lupa. HeHeHe...

Kalau kalian beli tiket terusan, kalian juga bisa naik beberapa wahana permainan yang ada.

Kita juga naik gajah. Mba Ari bilang “Gajah naik Gajah”. Biarlah orang berkata apa, yang penting aku bahagia. Setiap kita berfoto dengan binatang di sana kita harus membayar sepuluh ribu rupiah untuk biaya pelestarian lingkungan. Belum termasuk cetak fotonya yaaa...

Kembali ke parkiran motor setelah bus datang. Kembali ke kota Pasuran yang panas. Kita makan mie ayam sore itu sebelum pulang ke kost mba Ari.

Kembali ke Lumajang setelah mengenal sedikit kota Pasuruan. Ingin kembali ke sana untuk foto sama Si Raja Singa itu.


























































Selasa, 24 Maret 2015

Gunung Bromo Probolinggo



Mba Ari, Evy, Mba Istonik, Mba Yuni
Kalian tau apa yang terkenal di Probolinggo, Jawa Timur??? Yap, Gunung Bromo. Setelah satu bulan di Lumajang rasanya tak lengkap kalau tak mengunjungi Gunung Bromo di Probolinggo ini.

Sabtu sore aku mulai berkemas. Dari terminal Menak Koncar Lumajang cukup naik bus jurusan Malang atau Surabaya. Kemudian turun di Terminal Banyu Angga Probolinggo. Satu jam perjalanan Lumajang ke Probolinggo. Belum termasuk ke kota. Tempat temanku berada. Mba Istonik namanya. Dia asli Kediri. Kerja satu PT dengan ku. Beda cabang. Walau belum pernah ketemu sebelumnya. Dan hanya beberapa kali ngobrol lewat telpon. Entah kenapa dia juga baik padaku. Mungkin karena kasihan dengan ku. Atau memang dia baik. Entah lah.

 
 
Sampai di terminal aku telpon mba Istonik, sedikit bingung. Persis seperti anak hilang di terminal rasanya.  Beberapa menit kemudian akhirnya kita bertemu. Dari terminal ke kost mba Istonik kurang lebih sepuluh menit dengan naik motor.

Sampai di kost, mba Istonik kembali keluar kost. Dia akan menjemput mba Yuni dari Situbondo. Mba Yuni asli Jogja. Dia juga akan ke Bromo dengan kita.

 
 
Untuk pertama kalinya kita bertemu sore itu. Kita makan baso sambil ngobrol tentang kerjaan, sharing tentang banyak hal. Walau aku merasa asing dengan mereka. Tapi mereka asyik. Selesai makan baso kita pulang ke kost. Mba Yuni dan aku tidur di kamar mba Istonik. Sedangkan mba Istonik tidur di kamar lain.

Minggu pagi, kita diajak mba Istonik ke Pasar Pagi di alun-alun Probolinggo. Jalan-jalan di alun-alun sambil lihat orang jogging, orang jualan, dan orang lewat kita juga perhatikan. Oh, ya… aku masih ingat, pagi itu kita beli sarapan Lontong Balap. Katannya dulu kalau makan lontong itu harus cepat-cepat, karena banyak pembeli. Makan seperti dikejar-kejar. Makanya namanya Lontong Balap. Aneh juga sih, lontong pake sayur, biasanya lontong itu pake Sate. Kita kembali setelah selesai sarapan.

 
 
Depan Pura Gunung Bromo
Dari kost mba Istonik kita naik angkot ke terminal Probolinggo. Di terminal kita  juga sudah bikin janji sama mba Ayyi alias mba Ari. Dia dari Pasuruan. Tapi dia aslinya Klaten. Sama dengan aku. Kita ketemu mba Ari setelah di telpon bekali-kali.

Dari terminal kita naik “Taxi Executive” menuju Bromo. Tak mudah mencari kendaraan yang menuju Bromo. Kita harus menunggu mobil itu penuh. Kalau tidak, kita harus carter mobil itu.  Beberapa menit menunggu ada dua orang turis yang akan ke Bromo juga. Setelah menunggu berjam-jam dan tak ada penumpang lain. Akhirnya kita berangkat berenam. Satu mobil disewa dengan harga tiga ratus ribuan untuk pulang pergi. Dari terminal ke Bromo ditempuh selama satu jam kurang.

 
Puncak Gunung Bromo
Sampai di pintu masuk Bromo kita harus naik mobil Jep untuk ke gunungnya. Dua ratus ribu lebih harus kita bayar untuk Jep itu. Kita juga bisa naik ojeg sebenarnya. Karena kita berenam, maka kita lebih memilih Jep. Cuaca juga tidak mendukung saat itu. Takut kena hujan. Mungkin karena kita bareng bule. Jadi dikasih harga “special”. Setelah membeli tiket masuk kita lanjutkan perjalanan. Untuk wisatawan local kita cukup bayar enam ribu rupiah saja. Untuk turis manca, meraka harus membayar dua puluh lima ribu rupiah.

Dari tempat parkir Jep di depan pure, kita masih harus jalan kaki menuju puncak gemilang cahaya. #halah. Ada penyewaan kuda untuk naik ke atas. Sekalai lagi, karena kita bareng bule maka kita dikasih harga sewa kuda sangat “special”. Dari yang biasanya sepuluh ribu, mereka minta seratus ribu sekali naik ke puncak. Akhirnya kita putuskan untuk jalan kaki saja. Toh bule itu juga pada jalan kaki. Lebih seru mungkin.

Belum ada setengah jalan sudah terkuras semua tenaga. Walau di tengah jalan masih banyak bujukan naik kuda, kita tetap semangat takhukkan Bromo. Bahkan saat baru mulai menapaki tangga itu. Kedua bule itu sudah mulai turun. Kita saja belum sampai ke puncak. Apa mungkin kaki mereka bertenaga baterai? Apapun itu, kita salut sama mereka.

Setelah sampai di pucak kita tak lupa foto-foto. Kedinginan sudah pasti. Udara di sana kurasa sama dengan di dalam kulkas di rumahku. Kita turun saat gerimis mulai menitik di mukaku.

Gunung Batok katanya
Setelah menuruni tangga, banyak penyewaan kuda masih menunggu kita. Kita dan pengunjung lain. Ibu-ibu itu bilang cukup bayar sepuluh ribu saja untuk sampai di parkiran. Benar saja, sepakat tawar menawar kita akhirnya naik kuda. Tak sanggup lagi rasanya harus jalan kaki. Aku sedikit ngobrol dengan bapak pemilik kuda itu. Bromo ramai saat acara Kasada. Upacara syukuran atas hasil bumi di pucak Bromo itu diadakan pertengahan bulan Agustus. Bapak itu asli suku Tengger. Tinggal di dekat gunung Bromo. Aku lupa tak Tanya siapa namanya. Pengalaman pertama naik kuda di  gurun pasir Bromo. Menyenangkan. Sedikit lucu melihat wajah mba Yuni yang pucat karena ketakutan naik kuda.

Padang Pasir
Sampai di parkiran kita foto lagi dengan kuda itu. Dapet kaos Bromo gratis dari mba Ari. Katanya sih baru dapet bonus.

Kita kembali ke terminal Probolinggo. Sebelum akhirnya berpisah dengan teman-teman baruku. And Mrs. Jane and her Husband yang tak bisa kueja namanya. Mr. Teth, Mr. Ted, entah gimana mengejanya. They are from Melbouren, Australia. Always remember. Thank’s for a nice trip.

 


 

Bareng Turis Australia di Terminal Probolinggo
 

 

 

 
 

 

 

 

 

Senin, 23 Maret 2015

Lumajang Kota Pisang


TAMAN ALUN-ALUN KOTA LUMAJANG
Pulang dari pulau Borneo tepatnya dari Sintang, Kalimantan Barat Di kota Lumajang ini lah petualangan ku di Jawa Timur di Mulai. 1 Februari 2012 untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kota Pisang ini. Di daerah Tompokersan Lumajang aku menghabiskan hari-hariku kurang lebih selama 5 bulan.

Perjalanan dari Klaten ke Lumajang dengan bus naik dari terminal Tirtonadi Solo. Saat itu cukup enam puluh ribu saja sudah bisa untuk satu kali naik bus itu. Walau aku belum pernah ke sana sebelumnya. Aku nekad saja. Kenapa dibilang nekad? Saya sendiri dan belum pernah mengenal di mana itu kota Lumajang.

Semalaman ku habiskan di jalan. Untuk menuju kota di ujung pulau Jawa bagian Timur ini. Melelahkan memang, apalagi saat itu keadaan tidak bersahabat. Perut mual sepanjang jalan. Jalan di daerah Pasuruan macet hingga menambah lelah yang ada. Tiga belas jam ku habiskan di sepanjang jalan dari Solo menuju Terminal Menak Koncar di Lumajang.

 Cukup lama memang. Tapi tak apa.

Sampai di sana, aku tak tau arah. Hingga aku telpon seorang teman yang juga sebetulnya belum ku kenal sebelumnya. Mungkin lebih tepatnya calon teman kerja.

Sepuluh menit lebih aku harus menunggu.

Tiba di kantor tempat aku akan bekerja, di sana tak banyak orang. Hanya beberapa saja. Ada pak Bos Nur, mas Hartanto dan mas Yono si Sales. Dan yang pasti ada mba Muslimatun alias mba Mus yang akan mengajariku tentang job ku di sana. Yaaa….karna dia yang akan ku gantikan. Tak usah tanya kenapa dia minta mutasi kerja ke kantor Pusat. Lanjut saja siapa yang ada di Lumajang. Ada mba Iin orang kantor pusat yang mengurusi serah terima saat itu. Ada mba Hanny, istri mas Tanto. Dia seperti orang Chineses, walau dia turunan Jawa Tulen. Asli dari Boyolali.

Hari pertama tinggal di sana tak begitu buruk. Hari-hari berikutnya juga lumayan, daripada lumanyun. Hanya saja udara di sana tak seperti di Klaten dan Sintang. Dingin membuatku selalu malas bangun pagi.

Hanya tiga hari saja aku ditemani mba Mus, dia harus segera ke Klaten untuk dipindah tugaskan. Tak apa walau hanya sendiri. Toh masih ada mba Hanny yang akan menemaniku. Walau dia juga bekerja di tempat yang berbeda, dan jarang bisa menemaniku.

Baru satu bulan di Lumajang aku ingin pulang kampung. Bulan Maret saat libur aku putuskan untuk pulang ke Klaten. Di rumah hanya tiga hari. Aku kembali lagi ke Lumajang.

Kali ini aku coba menggunakan kereta ekonomi Sritanjung Klaten – Lumajang. Tigapuluh enam ribu cukup murah dibanding harga tiket bus.

Lagi-lagi ini pengalaman pertamaku naik kereta SENDIRIAN ke Lumajang. Banyak sekali penjual makanan dalam kereta hingga membuatku pening. 6 jam kereta melaju dari Klaten sampai ke Stasiun Surabaya. Sebelum melanjutkan ke Lumajang kereta harus ganti kepala. Yang tadinya aku di depan, sekarang di belakang. Surabaya, Sidoarjo, Bangil, Pasuruan, Probolinggo hingga Stasiun Klakah Lumajang. Kurang lebih saat magrib kereta tiba. Bingung sudah pasti. Tak tau harus bagaimana ke kota. Mau minta dijemput, HP is dead. Dengan sok yes nya saya bertanya-tanya sama petugas stasiun. Katanya harus naik bus. Menunggu bus tak masalah pikirku. Ternyata bus susah sekali di stop. Apa mungkin karena hari gelap aku jadi tidak terlihat? Entahlah. Daripada nunggu lama dan malu tak bisa menghentikan bus. Aku pura-pura bertanya arah ke stasiun sama seorang penjual di sana. Dan…ternyata selama itu aku menunggu aku salah arah. Bisa-bisa balik lagi ke Surabaya. Harusnya nyebrang dulu baru nyari bus arah terminal Menak Koncar. Dulu cukup bayar tiga ribu rupiah saja. Sampai di terminal naik Ojeg ke kota. Katanya karena hari sudah malam maka dia minta lima belas ribu. Perjalanan yang begitu panjang.

Hariku lalui dengan biasa. Hambar. Tak ada teman bercerita. Tak ada teman untuk ku jahili. Dan banyak lagi…. Begitu banyak alasan hinggal membuat ku untuk memutuskan resign kerja.

Cahyo, dia penggantiku yang juga sekaligus teman pelatihan dulu. Satu angkatan saat masuk di PT yang cukup punya nama besar di kota ku ini. Dia sangat cerewet, bahkan sangat usil. Tapi dia baik. Hampir tiap malam kita wisata kuliner di Lumajang. Mulai dari bebek goreng dekat kantor Pos Lumajang. Makan di stadion Lumajang saat malam juga. Beli ayam bakar hingga nasinya ketinggalan di warungnya. Membuat kita harus masak nasi malam-malam.

Sebelum aku pulang dia minta makan sate. Entah apa yang merasuki dia. Hingga tiba-tiba dia ingin makan sate di saat hari sudah mulai malam. Setelah keliling kota, kita temukan penjual sate asli Madura. Jujur aku tak pernah beli sate di sana. Karena aku tak suka sate kambing. Mungkin karena ketidaktauanku itu yang menjadikan malam itu terlihat begitu konyol. Saat mulai memesan sate, penjualnya tanya “Beli berapa??” ku jawab “Dua porsi” kenapa dia tanya lagi “Dua porsi berapa tusuk?” dalam hatiku “What? Bukannya situ yang jualan? Kenapa tanya sama pembeli?, satu porsi isi berapa tusuk kan kamu yang nentuin.” kemudian ku jawab “Satu porsi berapa tusuk mas?” dia hanya menjawab “Terserah kamu”. Ngajak berantem nih orang pikirku. Setelah berembuk bingung dengan Cahyo akhirnya kita membeli 2 porsi masing-masing sepuluh tusuk. Setelah menunggu cukup lama dan cukup bau asap juga si sate akhirnya datang juga. Yang lebih menyebalkan adalah si sate hanya datang 1 porsi.

Minggu terakhir di sana ku coba nikmati Car Freeday di alun-alun kota. Lupa apa yang kita beli saat itu. Yang pasti jajanan anak kecil itu. Mungkin nasi pecel. Tapi entah lah.

Tak banyak tempat yang ku singgahi di kota ini. Hanya alun-alun kota Lumajang saja. Tak banyak memang tempat yang aku tau di sini. Sedih sih,,,, tapi tak ada yang harus di sesali. Ingin rasanya menakhlukkan Maha Meru itu. Tapi belum terwujud keinginan itu aku harus menyudahi petualangan ku di sana. Dan petualangan ku di PT tempat pertamaku bekerja.

Mba Mus yang sudah nyaman di Klaten dekat dengan keluarganya. Walau kita sekarang hilang kontak. Tapi aku tak akan pernah melupakannya. Mba Hanny dan mas Tanto yang sekarang sudah dikaruniai seorang putri, mas Yono yang entah kapan married nya walau sudah banyak calonnya. Pak Bos yang katanya mau mutasi tapi tak jadi-jadi, dan Cahyo yang masih tetap semangat berjuang. Dia sisa terakhir dari teman-teman seangkatan masuk (Mba Ifah di Pekalongan juga resign karena married dengan si Sales di sana, Erna juga lebih dulu resign karena tak mau ditempatkan di Luar Jawa itu, Nenita juga menyusul resign aku). Hanya dia (Cahyo) yang masih bertahan. Di Lumajang juga ini aku bisa mengenal mba Istonik yang asli Kediri tapi kerja di Probolinggo, Mba Ari yang asli Trucuk tapi logat bicaranya sudah seperti orang Pasuruan. Ngomong cepat dan tanpa titik koma sudah jadi ciri dia. Dan mba Yuni yang paling alim dari Jogja tapi terdampar di Situbondo. Terimakasih teman-teman semua. Kalian begitu luar biasa.