Selasa, 24 Maret 2015

Gunung Bromo Probolinggo



Mba Ari, Evy, Mba Istonik, Mba Yuni
Kalian tau apa yang terkenal di Probolinggo, Jawa Timur??? Yap, Gunung Bromo. Setelah satu bulan di Lumajang rasanya tak lengkap kalau tak mengunjungi Gunung Bromo di Probolinggo ini.

Sabtu sore aku mulai berkemas. Dari terminal Menak Koncar Lumajang cukup naik bus jurusan Malang atau Surabaya. Kemudian turun di Terminal Banyu Angga Probolinggo. Satu jam perjalanan Lumajang ke Probolinggo. Belum termasuk ke kota. Tempat temanku berada. Mba Istonik namanya. Dia asli Kediri. Kerja satu PT dengan ku. Beda cabang. Walau belum pernah ketemu sebelumnya. Dan hanya beberapa kali ngobrol lewat telpon. Entah kenapa dia juga baik padaku. Mungkin karena kasihan dengan ku. Atau memang dia baik. Entah lah.

 
 
Sampai di terminal aku telpon mba Istonik, sedikit bingung. Persis seperti anak hilang di terminal rasanya.  Beberapa menit kemudian akhirnya kita bertemu. Dari terminal ke kost mba Istonik kurang lebih sepuluh menit dengan naik motor.

Sampai di kost, mba Istonik kembali keluar kost. Dia akan menjemput mba Yuni dari Situbondo. Mba Yuni asli Jogja. Dia juga akan ke Bromo dengan kita.

 
 
Untuk pertama kalinya kita bertemu sore itu. Kita makan baso sambil ngobrol tentang kerjaan, sharing tentang banyak hal. Walau aku merasa asing dengan mereka. Tapi mereka asyik. Selesai makan baso kita pulang ke kost. Mba Yuni dan aku tidur di kamar mba Istonik. Sedangkan mba Istonik tidur di kamar lain.

Minggu pagi, kita diajak mba Istonik ke Pasar Pagi di alun-alun Probolinggo. Jalan-jalan di alun-alun sambil lihat orang jogging, orang jualan, dan orang lewat kita juga perhatikan. Oh, ya… aku masih ingat, pagi itu kita beli sarapan Lontong Balap. Katannya dulu kalau makan lontong itu harus cepat-cepat, karena banyak pembeli. Makan seperti dikejar-kejar. Makanya namanya Lontong Balap. Aneh juga sih, lontong pake sayur, biasanya lontong itu pake Sate. Kita kembali setelah selesai sarapan.

 
 
Depan Pura Gunung Bromo
Dari kost mba Istonik kita naik angkot ke terminal Probolinggo. Di terminal kita  juga sudah bikin janji sama mba Ayyi alias mba Ari. Dia dari Pasuruan. Tapi dia aslinya Klaten. Sama dengan aku. Kita ketemu mba Ari setelah di telpon bekali-kali.

Dari terminal kita naik “Taxi Executive” menuju Bromo. Tak mudah mencari kendaraan yang menuju Bromo. Kita harus menunggu mobil itu penuh. Kalau tidak, kita harus carter mobil itu.  Beberapa menit menunggu ada dua orang turis yang akan ke Bromo juga. Setelah menunggu berjam-jam dan tak ada penumpang lain. Akhirnya kita berangkat berenam. Satu mobil disewa dengan harga tiga ratus ribuan untuk pulang pergi. Dari terminal ke Bromo ditempuh selama satu jam kurang.

 
Puncak Gunung Bromo
Sampai di pintu masuk Bromo kita harus naik mobil Jep untuk ke gunungnya. Dua ratus ribu lebih harus kita bayar untuk Jep itu. Kita juga bisa naik ojeg sebenarnya. Karena kita berenam, maka kita lebih memilih Jep. Cuaca juga tidak mendukung saat itu. Takut kena hujan. Mungkin karena kita bareng bule. Jadi dikasih harga “special”. Setelah membeli tiket masuk kita lanjutkan perjalanan. Untuk wisatawan local kita cukup bayar enam ribu rupiah saja. Untuk turis manca, meraka harus membayar dua puluh lima ribu rupiah.

Dari tempat parkir Jep di depan pure, kita masih harus jalan kaki menuju puncak gemilang cahaya. #halah. Ada penyewaan kuda untuk naik ke atas. Sekalai lagi, karena kita bareng bule maka kita dikasih harga sewa kuda sangat “special”. Dari yang biasanya sepuluh ribu, mereka minta seratus ribu sekali naik ke puncak. Akhirnya kita putuskan untuk jalan kaki saja. Toh bule itu juga pada jalan kaki. Lebih seru mungkin.

Belum ada setengah jalan sudah terkuras semua tenaga. Walau di tengah jalan masih banyak bujukan naik kuda, kita tetap semangat takhukkan Bromo. Bahkan saat baru mulai menapaki tangga itu. Kedua bule itu sudah mulai turun. Kita saja belum sampai ke puncak. Apa mungkin kaki mereka bertenaga baterai? Apapun itu, kita salut sama mereka.

Setelah sampai di pucak kita tak lupa foto-foto. Kedinginan sudah pasti. Udara di sana kurasa sama dengan di dalam kulkas di rumahku. Kita turun saat gerimis mulai menitik di mukaku.

Gunung Batok katanya
Setelah menuruni tangga, banyak penyewaan kuda masih menunggu kita. Kita dan pengunjung lain. Ibu-ibu itu bilang cukup bayar sepuluh ribu saja untuk sampai di parkiran. Benar saja, sepakat tawar menawar kita akhirnya naik kuda. Tak sanggup lagi rasanya harus jalan kaki. Aku sedikit ngobrol dengan bapak pemilik kuda itu. Bromo ramai saat acara Kasada. Upacara syukuran atas hasil bumi di pucak Bromo itu diadakan pertengahan bulan Agustus. Bapak itu asli suku Tengger. Tinggal di dekat gunung Bromo. Aku lupa tak Tanya siapa namanya. Pengalaman pertama naik kuda di  gurun pasir Bromo. Menyenangkan. Sedikit lucu melihat wajah mba Yuni yang pucat karena ketakutan naik kuda.

Padang Pasir
Sampai di parkiran kita foto lagi dengan kuda itu. Dapet kaos Bromo gratis dari mba Ari. Katanya sih baru dapet bonus.

Kita kembali ke terminal Probolinggo. Sebelum akhirnya berpisah dengan teman-teman baruku. And Mrs. Jane and her Husband yang tak bisa kueja namanya. Mr. Teth, Mr. Ted, entah gimana mengejanya. They are from Melbouren, Australia. Always remember. Thank’s for a nice trip.

 


 

Bareng Turis Australia di Terminal Probolinggo
 

 

 

 
 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar