Senin, 23 Maret 2015

Lumajang Kota Pisang


TAMAN ALUN-ALUN KOTA LUMAJANG
Pulang dari pulau Borneo tepatnya dari Sintang, Kalimantan Barat Di kota Lumajang ini lah petualangan ku di Jawa Timur di Mulai. 1 Februari 2012 untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kota Pisang ini. Di daerah Tompokersan Lumajang aku menghabiskan hari-hariku kurang lebih selama 5 bulan.

Perjalanan dari Klaten ke Lumajang dengan bus naik dari terminal Tirtonadi Solo. Saat itu cukup enam puluh ribu saja sudah bisa untuk satu kali naik bus itu. Walau aku belum pernah ke sana sebelumnya. Aku nekad saja. Kenapa dibilang nekad? Saya sendiri dan belum pernah mengenal di mana itu kota Lumajang.

Semalaman ku habiskan di jalan. Untuk menuju kota di ujung pulau Jawa bagian Timur ini. Melelahkan memang, apalagi saat itu keadaan tidak bersahabat. Perut mual sepanjang jalan. Jalan di daerah Pasuruan macet hingga menambah lelah yang ada. Tiga belas jam ku habiskan di sepanjang jalan dari Solo menuju Terminal Menak Koncar di Lumajang.

 Cukup lama memang. Tapi tak apa.

Sampai di sana, aku tak tau arah. Hingga aku telpon seorang teman yang juga sebetulnya belum ku kenal sebelumnya. Mungkin lebih tepatnya calon teman kerja.

Sepuluh menit lebih aku harus menunggu.

Tiba di kantor tempat aku akan bekerja, di sana tak banyak orang. Hanya beberapa saja. Ada pak Bos Nur, mas Hartanto dan mas Yono si Sales. Dan yang pasti ada mba Muslimatun alias mba Mus yang akan mengajariku tentang job ku di sana. Yaaa….karna dia yang akan ku gantikan. Tak usah tanya kenapa dia minta mutasi kerja ke kantor Pusat. Lanjut saja siapa yang ada di Lumajang. Ada mba Iin orang kantor pusat yang mengurusi serah terima saat itu. Ada mba Hanny, istri mas Tanto. Dia seperti orang Chineses, walau dia turunan Jawa Tulen. Asli dari Boyolali.

Hari pertama tinggal di sana tak begitu buruk. Hari-hari berikutnya juga lumayan, daripada lumanyun. Hanya saja udara di sana tak seperti di Klaten dan Sintang. Dingin membuatku selalu malas bangun pagi.

Hanya tiga hari saja aku ditemani mba Mus, dia harus segera ke Klaten untuk dipindah tugaskan. Tak apa walau hanya sendiri. Toh masih ada mba Hanny yang akan menemaniku. Walau dia juga bekerja di tempat yang berbeda, dan jarang bisa menemaniku.

Baru satu bulan di Lumajang aku ingin pulang kampung. Bulan Maret saat libur aku putuskan untuk pulang ke Klaten. Di rumah hanya tiga hari. Aku kembali lagi ke Lumajang.

Kali ini aku coba menggunakan kereta ekonomi Sritanjung Klaten – Lumajang. Tigapuluh enam ribu cukup murah dibanding harga tiket bus.

Lagi-lagi ini pengalaman pertamaku naik kereta SENDIRIAN ke Lumajang. Banyak sekali penjual makanan dalam kereta hingga membuatku pening. 6 jam kereta melaju dari Klaten sampai ke Stasiun Surabaya. Sebelum melanjutkan ke Lumajang kereta harus ganti kepala. Yang tadinya aku di depan, sekarang di belakang. Surabaya, Sidoarjo, Bangil, Pasuruan, Probolinggo hingga Stasiun Klakah Lumajang. Kurang lebih saat magrib kereta tiba. Bingung sudah pasti. Tak tau harus bagaimana ke kota. Mau minta dijemput, HP is dead. Dengan sok yes nya saya bertanya-tanya sama petugas stasiun. Katanya harus naik bus. Menunggu bus tak masalah pikirku. Ternyata bus susah sekali di stop. Apa mungkin karena hari gelap aku jadi tidak terlihat? Entahlah. Daripada nunggu lama dan malu tak bisa menghentikan bus. Aku pura-pura bertanya arah ke stasiun sama seorang penjual di sana. Dan…ternyata selama itu aku menunggu aku salah arah. Bisa-bisa balik lagi ke Surabaya. Harusnya nyebrang dulu baru nyari bus arah terminal Menak Koncar. Dulu cukup bayar tiga ribu rupiah saja. Sampai di terminal naik Ojeg ke kota. Katanya karena hari sudah malam maka dia minta lima belas ribu. Perjalanan yang begitu panjang.

Hariku lalui dengan biasa. Hambar. Tak ada teman bercerita. Tak ada teman untuk ku jahili. Dan banyak lagi…. Begitu banyak alasan hinggal membuat ku untuk memutuskan resign kerja.

Cahyo, dia penggantiku yang juga sekaligus teman pelatihan dulu. Satu angkatan saat masuk di PT yang cukup punya nama besar di kota ku ini. Dia sangat cerewet, bahkan sangat usil. Tapi dia baik. Hampir tiap malam kita wisata kuliner di Lumajang. Mulai dari bebek goreng dekat kantor Pos Lumajang. Makan di stadion Lumajang saat malam juga. Beli ayam bakar hingga nasinya ketinggalan di warungnya. Membuat kita harus masak nasi malam-malam.

Sebelum aku pulang dia minta makan sate. Entah apa yang merasuki dia. Hingga tiba-tiba dia ingin makan sate di saat hari sudah mulai malam. Setelah keliling kota, kita temukan penjual sate asli Madura. Jujur aku tak pernah beli sate di sana. Karena aku tak suka sate kambing. Mungkin karena ketidaktauanku itu yang menjadikan malam itu terlihat begitu konyol. Saat mulai memesan sate, penjualnya tanya “Beli berapa??” ku jawab “Dua porsi” kenapa dia tanya lagi “Dua porsi berapa tusuk?” dalam hatiku “What? Bukannya situ yang jualan? Kenapa tanya sama pembeli?, satu porsi isi berapa tusuk kan kamu yang nentuin.” kemudian ku jawab “Satu porsi berapa tusuk mas?” dia hanya menjawab “Terserah kamu”. Ngajak berantem nih orang pikirku. Setelah berembuk bingung dengan Cahyo akhirnya kita membeli 2 porsi masing-masing sepuluh tusuk. Setelah menunggu cukup lama dan cukup bau asap juga si sate akhirnya datang juga. Yang lebih menyebalkan adalah si sate hanya datang 1 porsi.

Minggu terakhir di sana ku coba nikmati Car Freeday di alun-alun kota. Lupa apa yang kita beli saat itu. Yang pasti jajanan anak kecil itu. Mungkin nasi pecel. Tapi entah lah.

Tak banyak tempat yang ku singgahi di kota ini. Hanya alun-alun kota Lumajang saja. Tak banyak memang tempat yang aku tau di sini. Sedih sih,,,, tapi tak ada yang harus di sesali. Ingin rasanya menakhlukkan Maha Meru itu. Tapi belum terwujud keinginan itu aku harus menyudahi petualangan ku di sana. Dan petualangan ku di PT tempat pertamaku bekerja.

Mba Mus yang sudah nyaman di Klaten dekat dengan keluarganya. Walau kita sekarang hilang kontak. Tapi aku tak akan pernah melupakannya. Mba Hanny dan mas Tanto yang sekarang sudah dikaruniai seorang putri, mas Yono yang entah kapan married nya walau sudah banyak calonnya. Pak Bos yang katanya mau mutasi tapi tak jadi-jadi, dan Cahyo yang masih tetap semangat berjuang. Dia sisa terakhir dari teman-teman seangkatan masuk (Mba Ifah di Pekalongan juga resign karena married dengan si Sales di sana, Erna juga lebih dulu resign karena tak mau ditempatkan di Luar Jawa itu, Nenita juga menyusul resign aku). Hanya dia (Cahyo) yang masih bertahan. Di Lumajang juga ini aku bisa mengenal mba Istonik yang asli Kediri tapi kerja di Probolinggo, Mba Ari yang asli Trucuk tapi logat bicaranya sudah seperti orang Pasuruan. Ngomong cepat dan tanpa titik koma sudah jadi ciri dia. Dan mba Yuni yang paling alim dari Jogja tapi terdampar di Situbondo. Terimakasih teman-teman semua. Kalian begitu luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar